Tikus Mati di Tengah Jalan Lewat Pukul Satu Malam
Lewat sudah pukul satu malam, kujumpai tikus mati di tengah jalan.
Gerangan
apakah yang membuatnya terlindas? Kegulitaan malam? Lajunya manusia-manusia
mengejar peradaban mereka yang boleh jadi lepas begitu saja?
Dengusanku
terdengar begitu jelas meniban sunyinya malam. Matinya tikus ini semakin menambah
rasa sepi. Sudah sunyi, sepi pula. Aduh, sialan! Kulalui sajalah tikus gepeng
itu. Tak kuindahkan pikiran-pikiran liarku terhadap perkara-perkaranya—yang salah
satunya mengatakan: bagaimana bila tikus itu boleh menjadi diriku nanti? Seekor
raja naga tidak mungkin mati terlindas, tetapi aku ‘kan bukan raja naga. Kalau
boleh jadi raja tikus saja.
Lewat
sudah pukul satu malam. Kujumpai ketiadaan. Bahkan, setan-setan rasanya segan berjalan bersamaku. Berbisik dalam persembunyian mereka pun masih sungkan. Mungkin,
mereka tahu bahwa makhluk ini justru akan menghampiri mereka, meminta
keanggotaan dalam kubu oposisi bersama-sama, sebab kurasa Tuhan sudah meninggalkanku. Ah,
mana mau mereka pada sumber daya tak berguna. Setan pun pandai
berhitung.
Kedai
teh tepat di pemuka komplek perumahan Kemang menjadi ujung dari langkah kakiku.
Napasku sedikit berat, sebab dompet teramat ringan. Apalah daya, perutku yang
memintaku ke sini.
Satu
orang pendekar berpedang dan berkuda hitam di serambi kedai menatapku aneh,
nanar. Barangkali dia bertanya-tanya mengenai penampilanku yang serba-aneh. Barangkali
karena bajuku yang berlubang sana-sini dengan noda yang juga sana-sini yang
kurasa telah menampilkan segala-galanya. Barangkali karena sebuah benda besar
yang menggelendoti kepalaku hingga leher bertekuk. Atau, bahkan, barangkali
karena dia melihat kantung mataku yang telah menyentuh dagu. Aku pasti lebih
imut dari panda.
“Mengapa?”
Dia,
tentu saja, tak menjawab. Toh, aku juga tak sungguh-sungguh bertanya. Toh, aku
juga tak sungguh-sungguh mengadakan diriku di sana. Boleh jadi aku sudah mengusai
ajian tembus pandang. Hehe.
“Ini
saja?” Kasir bertanya.
“Ya.
Memangnya kamu lihat aku bisa ambil apa lagi?”
“Penampilanmu
mengatakan banyak hal.”
Aku
termenung sebentar sementara dia sibuk mengaduk teh melati yang barusan kuambil
dari rak di sudut tenggara kedai.
“Apa
yang dikatakan penampilanku?” Aku bertanya ragu.
Si
kasir mengangkat bahu, menjawab santai, “Ia mengatakan bahwa kamu cukup
baik-baik saja. Tak ada yang salah. Sangat baik, bahkan. Barangkali kamulah
pemilik kuda hitam di tambatan kedai sana. Barangkali kamu sedang menyembunyikan
belati mestika di balik bajumu yang enggan engkau tunjukan pada siapa pun.
Entahlah.”
Aku
masih tidak puas. “Apa lagi?”
“Tidak
ada.”
“Pasti
ada! Jawabanmu itu salah semua!”
Si
kasir yang kesal melempar sendoknya sembarang, lantas menggerutu padaku, “Apa,
sih? Kamu ganggu aja. Saya cuma mau kerja di sini. Bukan tugasku meladeni
pertanyaan-pertanyaan aneh dari orang ganjil sepertimu. Gajiku tidak cukup
untuk itu, tahu!”
Dia
ada benarnya. Jadi, kuselesaikanlah urusan bayar-membayar di sana. Kubeli juga
aneka roti kukus hangat. Lalu, dengan sedikit berat, kulangkahkan kaki yang menapak
laksana gajah ke tempat yang orang-orang sebut sebagai rumahku. Tak seberapa
jauh memang, makanya teh melati beraroma syahdu itu kuturutsertakan dalam
perjalanan, kunikmati sedikit demi sedikit, seruput demi seruput, sembari tetap
kakiku melangkah.
Lewat
sudah pukul satu malam. Lalu-lalang manusia pengejar peradaban telah usai di
sini, setidaknya sampai dua jam ke hadapan. Masih kusangka kudapatkan kebebasan
hakiki di sini. Berjalan lunglai dan bernyanyi sekehendakku seperti orang mabuk
yang muak. Aku boleh tidak menyembunyikan apa pun tersebab penonton-penontonku telah
meninggalkan teater. Penontonku ialah daku sendiri. Aku boleh menampilkan apa
pun jua. Aku boleh menjadi satu-satunya anomali dari ciptaan Tuhan yang serba-indah.
Tiada sesiapa pun yang cukup peduli.
Lewat
sudah pukul satu malam. Kuharap langkah kakiku tak akan pernah berkesudahan hingga
selama-lamanya bila itu berarti segala masalah keparatku rontok jua bersama jejak-jejakku
yang membenam dalam lumpur hitam, jauh di belakang dan tak akan pernah kuhampiri
lagi. Semoga seseorang juru gali kubur berbaik hati mengubur mereka demi
kebaikan semuanya.
Belum ada Komentar untuk "Tikus Mati di Tengah Jalan Lewat Pukul Satu Malam"
Posting Komentar