Hubungi Kami × +
Nama

Email Address*

Pesan*


About

Tikus Mati di Tengah Jalan Lewat Pukul Satu Malam





 Lewat sudah pukul satu malam, kujumpai tikus mati di tengah jalan.

Gerangan apakah yang membuatnya terlindas? Kegulitaan malam? Lajunya manusia-manusia mengejar peradaban mereka yang boleh jadi lepas begitu saja?

Dengusanku terdengar begitu jelas meniban sunyinya malam. Matinya tikus ini semakin menambah rasa sepi. Sudah sunyi, sepi pula. Aduh, sialan! Kulalui sajalah tikus gepeng itu. Tak kuindahkan pikiran-pikiran liarku terhadap perkara-perkaranya—yang salah satunya mengatakan: bagaimana bila tikus itu boleh menjadi diriku nanti? Seekor raja naga tidak mungkin mati terlindas, tetapi aku ‘kan bukan raja naga. Kalau boleh jadi raja tikus saja.

Lewat sudah pukul satu malam. Kujumpai ketiadaan. Bahkan, setan-setan rasanya segan berjalan bersamaku. Berbisik dalam persembunyian mereka pun masih sungkan. Mungkin, mereka tahu bahwa makhluk ini justru akan menghampiri mereka, meminta keanggotaan dalam kubu oposisi bersama-sama, sebab kurasa Tuhan sudah meninggalkanku. Ah, mana mau mereka pada sumber daya tak berguna. Setan pun pandai berhitung.

Kedai teh tepat di pemuka komplek perumahan Kemang menjadi ujung dari langkah kakiku. Napasku sedikit berat, sebab dompet teramat ringan. Apalah daya, perutku yang memintaku ke sini.

Satu orang pendekar berpedang dan berkuda hitam di serambi kedai menatapku aneh, nanar. Barangkali dia bertanya-tanya mengenai penampilanku yang serba-aneh. Barangkali karena bajuku yang berlubang sana-sini dengan noda yang juga sana-sini yang kurasa telah menampilkan segala-galanya. Barangkali karena sebuah benda besar yang menggelendoti kepalaku hingga leher bertekuk. Atau, bahkan, barangkali karena dia melihat kantung mataku yang telah menyentuh dagu. Aku pasti lebih imut dari panda.

“Mengapa?”

Dia, tentu saja, tak menjawab. Toh, aku juga tak sungguh-sungguh bertanya. Toh, aku juga tak sungguh-sungguh mengadakan diriku di sana. Boleh jadi aku sudah mengusai ajian tembus pandang. Hehe.

“Ini saja?” Kasir bertanya.

“Ya. Memangnya kamu lihat aku bisa ambil apa lagi?”

“Penampilanmu mengatakan banyak hal.”

Aku termenung sebentar sementara dia sibuk mengaduk teh melati yang barusan kuambil dari rak di sudut tenggara kedai.

“Apa yang dikatakan penampilanku?” Aku bertanya ragu.

Si kasir mengangkat bahu, menjawab santai, “Ia mengatakan bahwa kamu cukup baik-baik saja. Tak ada yang salah. Sangat baik, bahkan. Barangkali kamulah pemilik kuda hitam di tambatan kedai sana. Barangkali kamu sedang menyembunyikan belati mestika di balik bajumu yang enggan engkau tunjukan pada siapa pun. Entahlah.”

Aku masih tidak puas. “Apa lagi?”

“Tidak ada.”

“Pasti ada! Jawabanmu itu salah semua!”

Si kasir yang kesal melempar sendoknya sembarang, lantas menggerutu padaku, “Apa, sih? Kamu ganggu aja. Saya cuma mau kerja di sini. Bukan tugasku meladeni pertanyaan-pertanyaan aneh dari orang ganjil sepertimu. Gajiku tidak cukup untuk itu, tahu!”

Dia ada benarnya. Jadi, kuselesaikanlah urusan bayar-membayar di sana. Kubeli juga aneka roti kukus hangat. Lalu, dengan sedikit berat, kulangkahkan kaki yang menapak laksana gajah ke tempat yang orang-orang sebut sebagai rumahku. Tak seberapa jauh memang, makanya teh melati beraroma syahdu itu kuturutsertakan dalam perjalanan, kunikmati sedikit demi sedikit, seruput demi seruput, sembari tetap kakiku melangkah.

Lewat sudah pukul satu malam. Lalu-lalang manusia pengejar peradaban telah usai di sini, setidaknya sampai dua jam ke hadapan. Masih kusangka kudapatkan kebebasan hakiki di sini. Berjalan lunglai dan bernyanyi sekehendakku seperti orang mabuk yang muak. Aku boleh tidak menyembunyikan apa pun tersebab penonton-penontonku telah meninggalkan teater. Penontonku ialah daku sendiri. Aku boleh menampilkan apa pun jua. Aku boleh menjadi satu-satunya anomali dari ciptaan Tuhan yang serba-indah. Tiada sesiapa pun yang cukup peduli.

Lewat sudah pukul satu malam. Kuharap langkah kakiku tak akan pernah berkesudahan hingga selama-lamanya bila itu berarti segala masalah keparatku rontok jua bersama jejak-jejakku yang membenam dalam lumpur hitam, jauh di belakang dan tak akan pernah kuhampiri lagi. Semoga seseorang juru gali kubur berbaik hati mengubur mereka demi kebaikan semuanya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Buka komentar
Tutup komentar

Belum ada Komentar untuk "Tikus Mati di Tengah Jalan Lewat Pukul Satu Malam"

Posting Komentar

Subcribe

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Dukung penulis di karyakarsa.com/WestReversed